Definisi & Dasar Hukum
Sebutan Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) lahir dari kebutuhan memastikan ada “satu kapten” yang memimpin asuhan pasien secara menyeluruh. Secara standar akreditasi, setiap pasien harus memiliki DPJP; bila lebih dari satu dokter terlibat, rumah sakit menetapkan DPJP Utama dan memiliki proses alih tanggung jawab yang terdokumentasi [1]. Kewajiban pendokumentasian klinis diatur rinci dalam Permenkes 24/2022 tentang Rekam Medis, termasuk pengisian yang lengkap, jelas, segera setelah pelayanan, dengan nama, waktu, dan tanda tangan, serta terintegrasi dalam satu dokumen RME/CPPT (RME: Rekam Medis Elektronik; CPPT: Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi) [2]. Di tingkat undang‑undang, UU 29/2004 mewajibkan dokter membuat rekam medis dan melengkapinya segera setelah pelayanan [3].
Ruang Lingkup & Berlaku di Poliklinik
Kontinuitas asuhan dimulai sejak pintu masuk pelayanan—termasuk poliklinik. Klausul AKP dalam STARKES menegaskan koordinasi dan kesinambungan pelayanan mencakup IGD, rawat jalan (poliklinik), tindakan/bedah, hingga rawat inap; konsekuensinya penetapan DPJP juga berlaku di poliklinik [1].
Peran Inti DPJP (Clinical Leader)
DPJP memimpin koordinasi interprofesi, mengelola pasien sesuai kewenangan klinis, memastikan koordinasi dan kesinambungan, dan namanya tercatat di rekam medis [1]. Untuk tindakan berisiko tinggi, penjelasan dan persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) harus adekuat dan terdokumentasi sesuai Permenkes 290/2008 [4]. Semua layanan yang diberikan harus didokumentasikan segera dan terintegrasi dalam rekam medis (CPPT) [2].
Ringkas peran operasional:
Peran | Mandat Utama | Batasan |
DPJP Utama | Memimpin rencana asuhan, menyatukan rekomendasi profesi/konsulen, kontak utama pasien/keluarga [1]. | Otoritas klinis sesuai kewenangan; tidak menggantikan intervensi profesi lain. |
DPJP Konsulen/Pendamping | Memberi pendapat spesifik atas permintaan; mencatat rekomendasi dan tindak lanjut. | Koordinasi akhir tetap pada DPJP Utama [1]. |
DPJP Pengganti/On‑call | Menerima serah‑terima saat DPJP Utama berhalangan; memastikan rencana 24–48 jam berjalan. | Mandat kembali ke DPJP Utama setelah aktif; serah‑terima terdokumentasi [1]. |

Penetapan DPJP di Lini Layanan
Penetapan DPJP di tiap lini layanan memastikan ada satu penanggung jawab klinis yang memimpin rencana asuhan, menyatukan koordinasi PPA, dan menjamin jejak keputusan tercatat utuh dalam RME. Mengacu pada STARKES 2024 dan Permenkes 24/2022, penetapan ini dimulai sejak kontak pertama (poliklinik/IGD), berlanjut pada rawat inap–ICU/ICCU/OK, hingga fase pulang/rujuk—dengan serah-terima tertulis dan identitas DPJP/DPJP Utama yang konsisten di setiap perpindahan. [1][2]
- Poliklinik (Rawat Jalan)
Dokter yang bertanggung jawab pada episode kunjungan bertindak sebagai DPJP kunjungan; tuliskan SOAP/CPPT hari itu, edukasi, dan rencana kontrol. Jika pasien dirawat, lakukan serah-terima terstruktur (format ringkas diagnosis/status terakhir–isu terbuka–rencana 24–48 jam), perbarui identitas DPJP rawat inap di RME, dan pastikan order/rujukan sinkron. [1][2]
- IGD
Dokter IGD berperan sebagai DPJP awal sampai ada penetapan berikutnya (poliklinik/ruang rawat/ICU). Sebelum transfer, sertakan informasi kunci (diagnosis kerja, status terakhir, intervensi/hasil kritis, isu terbuka, rencana 24–48 jam) dalam serah-terima tertulis. Tindakan emergensi mengikuti prinsip informed consent yang proporsional, kemudian dilengkapi setelah kondisi stabil. [1][2][4]
- Ruang Rawat Inap (Bangsal)
Supaya arah klinis tidak berubah di tiap pergantian shift, DPJP Utama harus terlihat, terdengar, dan terbaca jelas di RME.
- Penetapan & identitas. Setiap pasien rawat inap wajib memiliki DPJP, dan pada rawat bersama rumah sakit menetapkan DPJP Utama sebagai koordinator. Nama DPJP/DPJP Utama tampil di header RME; setiap alih-tanggung jawab (cuti/jaga) terdokumentasi dengan tanggal–jam dan alasan. [1]
- Peran DPJP Utama. Memimpin rencana asuhan terpadu, menetapkan rencana 24–48 jam, menyinergikan Clinical Pathway/PPK, serta menjadi kontak utama pasien/keluarga. [1]
- Koordinasi PPA. Menyatukan catatan keperawatan, farmasi klinik (antimikroba, interaksi), gizi (target energi/protein), rehabilitasi, dan PPI (pencegahan infeksi) ke dalam CPPT terintegrasi. [1][2]
- Order klinis prioritas. Antimikroba berdasar indikasi & hari ke- (dengan rencana de-eskalasi), transfusi (indikasi & komponen), cairan/elektrolit, diet/nutrisi, profilaksis tromboemboli vena (VTE), manajemen nyeri, dan pembatasan klinis lain—selaras CPPT hari itu. [1][2]
- Dokumentasi wajib. CPPT harian diisi segera dengan nama–waktu–tanda tangan elektronik; hindari copy-paste; tuliskan interpretasi & keputusan hari itu. Hasil kritis (lab/imaging) di-acknowledge (diinterpretasi & ditindaklanjuti) dan tindak lanjutnya tercatat. [2]
- Edukasi & persetujuan tindakan. Edukasi terapi/efek samping dicatat. Untuk prosedur invasif, informed consent sesuai Permenkes 290/2008 (dokter pelaksana sesuai kewenangan); DPJP Utama mengintegrasikan keputusan ke rencana asuhan. [4]
- Transfer internal. Pindah unit (mis. ke ICU/HCU/ICCU/HD atau kembali ke bangsal) wajib serah-terima tertulis (diagnosis/status terakhir, intervensi kunci, isu terbuka, rencana 24–48 jam) dan penegasan DPJP setelah transfer. [1]
- Pulang & tindak lanjut. Resume pasien pulang dibuat oleh DPJP sebelum pasien keluar, memuat diagnosis akhir, prosedur, obat, kondisi terakhir, dan rencana kontrol/rujukan; diserahkan ke pasien/tenaga kesehatan lanjutan sesuai kebijakan. [1][2]
- Ruang Intensif (ICU/ICCU)
Prinsip umum: setiap pasien ICU/ICCU wajib memiliki DPJP; bila multi-dokter, RS menetapkan DPJP Utama serta proses alih-tanggung jawab yang terdokumentasi. [1]
Model tata kelola (tetapkan di SK/SPO & tampilkan di RME):
ICU tertutup (closed ICU): intensivist = DPJP Utama selama fase ICU; dokter pengirim = konsulen. Order harian (ventilator, sedasi, vasopressor, antimikroba, nutrisi) oleh intensivist. [1]
ICU terbuka (open ICU): DPJP Utama = dokter pengirim; intensivist = konsulen kritikal. Order harian umumnya oleh DPJP Utama. [1]
Hibrida/ko-manajemen: bagi-peran—intensivist memimpin terapi kritikal; DPJP pengirim memimpin penyakit dasar/prosedur definitif. Wajib ada “single-source-of-orders”. [1]
- Kamar Operasi (OK) & Perioperatif
DPJP pada episode perioperatif adalah DPJP Utama pasien. Jika operator bukan DPJP Utama, penetapan DPJP tidak berubah: operator bertanggung jawab atas tindakan bedah dan persetujuan tindakan bedah, dokter anestesi bertanggung jawab atas anestesi dan persetujuannya, sedangkan DPJP Utama memimpin koordinasi serta menyusun rencana asuhan pasca-operasi (termasuk bila perlu ICU/HCU). Seluruh alur ditetapkan dalam SPO dan dibuktikan di RME (order, catatan anestesi, laporan operasi, CPPT, formulir serah-terima). [1][2][4]
- Unit Penunjang (Laboratorium & Radiologi)
Mandat klinis tetap satu pintu pada DPJP pasien. Dokter penunjang bertanggung jawab atas pemeriksaan/interpretasi/tindakan penunjang, namun bukan DPJP pasien; hasil ditandatangani elektronik (e-sign) oleh dokter penunjang dan tersimpan/terintegrasi dalam RME. Order dari DPJP wajib memuat indikasi klinis; DPJP mengakui (acknowledge) hasil bermakna di CPPT dan menerjemahkannya menjadi rencana 24–48 jam. [1][2]
“DPJP bukan sekadar nama di header, melainkan kompas klinis: satu arah keputusan, satu kesinambungan asuhan, dan satu jejak yang rapi di rekam medis.”
Relasi DPJP & PPA (Profesional Pemberi Asuhan)
Asuhan terbaik lahir dari tim. Standar menegaskan pelayanan pasien diberikan secara interdisiplin dengan DPJP sebagai ketua tim PPA; koordinasi dan kesinambungan harus dijaga lintas unit (rawat jalan, diagnostik, bedah, rawat inap) [1]. Pencatatan perkembangan dilakukan di CPPT oleh seluruh PPA; di unit khusus dapat ada lembar tambahan, namun integrasi tetap dijaga [1][2].
Dokumentasi & CPPT: Kesalahan yang Sering Terjadi
Kesalahan umum dan perbaikannya:
Catatan tidak segera diisi; perbaikan: isi segera setelah pelayanan, lengkapi nama‑waktu‑tanda tangan [2].
Copy‑paste berulang tanpa pembaruan; perbaikan: ringkas, faktual, update perkembangan klinis; audit dan umpan balik berkala [1].
Instruksi tidak jelas/tanpa penanggung jawab; perbaikan: tulis siapa‑melakukan‑apa‑kapan; sinkronkan order dengan CPPT [2].
Nilai kritis tidak di‑acknowledge; perbaikan: wajib entri “dibaca–diinterpretasi–ditindaklanjuti” dan aktifkan alert hasil kritis [1][2].
Hasil Lab/Rad tidak ditandatangani elektronik; perbaikan: hard‑stop rilis hasil tanpa e‑sign; audit kepatuhan penandatanganan [2].
Resume Medis & Tanggung Jawab
Standar AKP 5.1 menegaskan ringkasan pasien pulang dibuat untuk semua pasien rawat inap sebelum pasien keluar dan diberikan ke pasien serta tenaga kesehatan lanjutan; dalam praktik akreditasi, resume dibuat oleh DPJP. Permenkes 24/2022 menegaskan bahwa isi rekam medis yang diberikan saat pulang adalah bagian dari sistem rujukan dan dibuat oleh penanggung jawab pelayanan [1][2].
Tata Kelola Klinis & Komite Medik
DPJP bukan sekadar “nama di header”, melainkan mandat klinis yang harus sejalan dengan kompetensi dan keselamatan pasien. Karena itu, Komite Medik berperan memastikan penetapan DPJP berjalan tertib melalui tata kelola klinis.
- Kredensial & rekredensial. Komite Medik menilai kelayakan staf medis dan merekomendasikan kewenangan klinis (clinical privileges) sebagai dasar penugasan klinis oleh Direktur. DPJP idealnya hanya ditetapkan dari dokter yang privilege-nya sesuai lini layanan/kasus. [5]
- Aturan main praktik (Medical Staff Bylaws/SPO). Komite Medik memastikan kebijakan rawat bersama, DPJP Utama, alih-tanggung jawab, dan aturan dokumentasi klinis tertulis jelas dan dipahami. [5]
- Audit mutu & peer review. Komite Medik mengawal audit medis/penjaminan mutu: ketepatan penetapan DPJP, mutu CPPT (kelengkapan, tindak lanjut hasil kritis), dan ketepatan resume—lalu mengubah temuan menjadi perbaikan SPO dan edukasi. [5]
- Etika & disiplin profesi. Bila ada keluhan/insiden, Komite Medik menjalankan mekanisme penilaian profesional untuk menjaga akuntabilitas dan budaya keselamatan. [5]
- Penguatan di SIMRS/RME. Praktik baik: pilihan DPJP pada SIMRS dibatasi pada dokter dengan penugasan klinis aktif; perubahan DPJP terekam audit trail; dan tanda tangan elektronik wajib. [5]
Intinya: Komite Medik memastikan DPJP yang ditetapkan adalah dokter yang tepat, dengan kewenangan yang tepat, dan jejak keputusan yang rapi—demi keselamatan pasien. [5]
Rekomendasi Implementasi (Konteks RSUD)
SK Direktur & Kebijakan Internal: tegaskan definisi DPJP, DPJP Utama, alur penetapan di IGD/Poliklinik/Rawat Inap, dan alih tanggung jawab; sinkronkan dengan Komite Medik [1][5].
Desain CPPT/RME: wajib nama‑waktu‑paraf digital, timestamp otomatis, hard‑stop bila entri belum lengkap; CPPT terintegrasi antar PPA [2].
Order & Hasil Penunjang: indikasi klinis wajib pada order; hasil/interpretasi ditandatangani elektronik oleh dokter penunjang; DPJP melakukan acknowledge di CPPT [1][2].
Audit Mutu Bulanan: telusuri ketepatan penunjukan DPJP, kelengkapan resume, kepatuhan CPPT; tampilkan indikator sederhana namun actionable [1][2].
Edukasi Tim: pelatihan ringkas “DPJP & CPPT yang baik” dengan studi kasus; titik berat pada do‑and‑don’t dan integrasi ke SIMRS [2].
“Ketika DPJP ditetapkan dengan benar dan didukung tim yang solid, pasien tidak hanya dirawat—ia dijaga dengan ilmu, disiplin, dan hati.”
Referensi
- Keputusan Menteri Kesehatan RI No. HK.01.07/MENKES/1596/2024 tentang Standar Akreditasi Rumah Sakit (STARKES).
- Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis.
- Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
- Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran (informed consent).
- Permenkes No. 755/MENKES/PER/IV/2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit.
*Penulis adalah Asesor Internal RSUD dr. M. Haulussy Ambon.
___________
Artikel terkait:
